News Update :

Otoritas sekolah : Membangun kewibawaan Pendidikan kita

Dalam beberapa kesempatan, Bupati Tanggamus, Bambang Kurniawan, ST dengan tegas dan lugas menyatakan kepada para praktisi pendidikan, bahwa institusi sekolah harus memiliki otoritas yang dengan itu bisa membebaskannya dari segala aspek yang berpotensi mengganggu kewibawaannya. Tidak itu saja, beliau pun seringkali menyatakan keseriusan pemikirannya (state of mind) yang benar-benar ingin memperkuat ketahanan sekolah dari hal-hal yang bersifat intervensi eksternal.

Namun sangat disayangkan, argumen-argumen beliau yang secara faktual benar-benar membela kepentingan pendidikan itu kurang ditanggapi secara optimal oleh pihak sekolah, yang sepertinya lebih suka diintervensi oleh pihak lain dan memilih pasrah untuk diajak “kompromi”. Mereka tidak punya sikap yang jelas untuk merespon segala sesuatu yang sebenarnya dapat melepaskannya dari belenggu-belenggu yang bersifat tradisionalistik dan ikatan-ikatan kultural, yang menjerat independensi sekolah. Konflik-konflik berkepanjangan yang berlangsung antara sekolah dengan “pihak luar” kerap diasosiasikan dengan pranata moral yang diprasangkakan. Ini tentu akan memunculkan hubungan sebab-akibat yang panjang, dan hanya berujung kepada sikap yang saling menyalahkan. Sungguh, situasi semacam itu tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah lingkungan yang sehat. Karena yang tidak disadari oleh semua pihak, mereka semua hanya saling melemahkan satu sama lain. Dan bukan saling menguatkan.

Di sudut lain, bupati kita pun tidak bosan-bosannya menghimbau dan menyerukan agar seluruh unit sekolah meningkatkan kualitas serta kompetensinya di segala lini. Hal tersebut perlu disampaikannya karena beliau sendiri menyadari, bahwa ke depan, standar kehidupan atau peradaban dunia akan sangat ditentukan oleh kualitas individu dan juga unit-unit kelompok yang ada di dalam masyarakat – dan sekolah akan menjadi ujung tombak untuk terciptanya idealisasi semacam itu. Untuk itu, Bupati Tanggamus menekankan aspek pengabdian kepada para guru agar sungguh-sungguh memberikan ilmu-ilmu terbaiknya untuk pendidikan anak-anak di sekolah.

Menyelenggarakan pendidikan bukan sesuatu yang mudah dan yang tidak memunculkan tekanan tersendiri. Tekanan-tekanan itu berupa tuntutan, harapan, juga pertanggungjawaban, yang tidak jarang disertai dengan friksi serta kontroversi. Banyak sudah yang dilakukan oleh para penyelenggara pendidikan untuk menyiasati tekanan-tekanan yang ada – terutama yang berkaitan dengan sorotan-sorotan pihak luar yang sama sekali tidak memiliki kompetensi buat “bermain” seenaknya di dalam lingkungan sekolah dan juga dunia pendidikan. Tanyakanlah kepada “pihak-pihak asing” itu, apakah mereka mempunyai konsep pembangunan pendidikan yang aplikatif untuk digelar di kabupaten Tanggamus ini. Tentu saja dijamin tak ada jawaban yang bias diterima oleh akal sehat, karena mereka sangat tidak berpengetahuan terhadap soal itu. Dan pastinya, mereka hanya bisa bungkam dan membisu.

Para intruder atau penyusup yang tidak berpengetahuan itu hanya mampu bermain di wilayah hukum akal-akalan, yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti, menekan, memaksa, dan mengintimidasi para praktisi sekolah – untuk mendapatkan keuntungan material secara sepihak. Cukup mengherankan jika di zaman ultra-kemajuan ini masih banyak saja orang-orang yang bekerja dengan modus operandi semacam itu, dan yang lebih aneh, tidak sedikit pihak sekolah yang menggigil ketakutan ketika didatangi mereka. Ini adalah sebuah stigma yang sangat buruk bagi pendidikan di Tanggamus. Sebuah label atau cap yang sangat berpotensi untuk merusak tatanan pembangunan pendidikan kita.

Kedewasaan dan Kesadaran Masyarakat Berpendidikan

Ada segelintir masyarakat kita yang percaya dan sangat meyakini, bahwa sekolah dalam kapasitasnya sebagai sebuah lembaga pembelajaran dianggap seperti institusi bisnis – yang sarat dengan kepentingan industrial dan kapital. Ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip serta moral pendidikan itu sendiri, yang justru lebih mengedepankan aspek-aspek sosial dan kemanusiaan.

Namun yang paling memprihatinkan, kejelasan-kejelasan semacam itu tidak akan pernah mampu memasuki relung pemikiran para “pihak asing” tersebut, karena sudut pandang atau frame keterbelakangnya menolak premis-premis kekinian, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah lembaga “kudus”, yang tidak boleh tersentuh tangan-tangan kotor. Namun para “pihak asing” itu selalu saja merusak kredibilitas pihak sekolah, yang kerap disudutkannya dengan berbagai vonis hukum, seperti; tidak transparan, korup, menyalah-gunakan wewenang, dan “tidak mau berbagi” rejeki.

Mereka, pihak-pihak asing, yang sering terlihat keluar-masuk ruang-ruang kepala sekolah atau ruangan guru menebarkan berbagai jenis tanya-jawab bernuansa teror, tawaran-tawaran bernada ancaman dan permintaan-permintaan bermuatan intimidasi yang seakan mengepung integritas sekolah. Sehingga tidak aneh jika banyak orang beranggapan kalau sekolah telah kehilangan imunitas atau kekebalan individualnya terhadap segala sesuatu yang melanggar kehormatannya sendiri. Pihak sekolah selalu kelihatan grogi, salah tingkah, dan juga gemetaran ketika melihat kehadiran “orang-orang asing” yg sebenarnya tidak asing itu. Mereka kuatir kalau tidak memenuhi keinginan-keinginan para intruder yang tidak berwawasan itu, akan membawa mereka ke ranah hukum atau penyebarluasan informasi yang tidak semestinya. Maka terjadilah hubungan simbiosis-mutualisme terpaksa yang menunjukkan ketidakelokan budaya di dunia pendidikan (semua reporter dan wartawan Madani mengatakan; pihak sekolah lebih memilih untuk memberi uang kepada “orang-orang asing” itu, dibandingkan membeli Majalah Madani yang tidak seberapa, namun yang justru sering membela kepentingan dunia pendidikan).

Ini sangat ironis, mengingat fenomena semacam itu pun berlaku di beberapa instansi pemerintah tertentu. Entah kebingungan apa yang melanda dunia pendidikan kita (baca; sekolah), sehingga mereka dikuatirkan oleh sesuatu yang seharusnya tidak boleh ada di negeri yang bernama Tanggamus ini. Karena faktanya, ini semua adalah sebuah belenggu kebiasaan (tradsionalistik) yang dibiarkan terjadi, dan juga dikekalkan. Percayalah, fenomena keterlibatan tangan-tangan kotor dari pihak asing itu tidak berlaku di daerah-daerah atau wilayah yang sudah maju peradabannya. Kecuali kita semua sepakat untuk menyatakan bahwa pendidikan di Tanggamus memang amatlah terbelakang, dan sudah tidak berpengharapan. Tapi benarkah sudah separah itu situasinya?

Belum, harapan masih banyak dan jalan-jalan keluar untuk melakukan pencegahan atas penetrasi orang-orang asing tersebut ke lingkup pendidikan masih banyak. Persoalannya adalah, apakah para stakeholder dan unsur-unsur masyarakat kita sudah siap mendukung dan punya komitmen guna “memerangi” hal-hal semacam itu? Karena kalau tidak, maka sia-sialah upaya yang akan dilakukan. Peran komite sekolah, dewan pendidikan, dan para anggota Komisi D dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tanggamus sudah waktunya menjamkan kuku dan mengasah taringnya untuk memberi penguatan kepada pihak sekolah agar mereka terhindar dari pengaruh-pengaruh asing, yang lebih sering melakukan tindakan intervensi serta intimidasi-intimidasi ketimbang member solusi-solusi yang bermanfaat.

Demikian pula aparat keamanan yang juga seharusnya berada di belakang lembaga pendidikan, seharusnya tidak langsung bertindak memasuki wilayah otoritas pendidikan jika mendapat laporan-laporan “pihak asing” yang biasanya kerap mengatasnamakan dan mewakili masyarakat. Itu akan menodai citra, dan itu akan membangun sebuah persepsi yang tidak sehat di masyarakat. Jadi, ayo kita bentengi sekolah kita.
Share this Article on :

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Famed to be one of the largest US-based online casinos on
Famed to be one 메리트카지노총판 of the largest US-based online casinos on worrione casino 메리트카지노 in the largest US-based online casino with a progressive jackpot for winning

Posting Komentar

 

© Copyright KabarTanggamus 2011 -2012 | Design by Mekhanai Tanggamus | Published by Kabar Tanggamus | Powered by Blogger.com.